Syifa Kamila
2 min readMar 20, 2022

Harsa: Perjalanan Mencintaiku

Bertemu dengan Harsa adalah keajaiban, buah dari doa yang kuucap tak serius namun dengan mudah Tuhan ijabah. Mungkin doa itu terpanjatkan karena pernah berjumpa sekali dalam mimpi, atau tak sengaja berpapasan saat menyebrang jalan, atau bertatapan sepersekian detik di antara kerumunan, atau berada dalam angkot, bus, kereta, kapal atau pesawat yang sama. Entahlah, rasanya begitu macam-macam, tumpah ruah tak beraturan, seperti tak memberi sekat antara mimpi dan realita.

Sekali lagi, bertemu dengan Harsa adalah sebuah keajaiban. Bersamanya begitu spektakuler; perasaan membuncah-buncah, bahagia muncrat-muncrat, cinta ranum merekah, diri melambung tinggi sampai pada titik kulminasi. Aku selalu tertawa lepas tiap kali dia tunjukkan video lucu dan leluconnya. Tak jarang kami main tinju-tinjuan, saling melempar bantal dan kejar-kejaran. Tingkah Harsa seringkali begitu mengejutkan, tiba-tiba memberiku mawar putih, tiba-tiba berbisik merayuku saat makan, atau sampai menangis di depanku menceritakan kegelisahannya.

Harsa dimataku menjelma pancarona, lebih indah dari sekadar mejikuhibiniu. Terbius aku menyaksikan warna-warna itu berpendar disekelilingnya. Mata Harsa adalah pusat keindahan, sebab terbentang alam semesta di dalamnya. Aku dapat melihat samudra tempat hunian dewa-dewa, segala gemerlap bulan bintang bahkan kunang-kunang berkumpul dimatanya. Namun, terdapat gumpalan ketakutan yang hitam jika tergelam di matanya.

Sejak saat itu kubiarkan Harsa tidur di sampingku. Kuberi pelukan paling nyaman, kecupan-kecupan paling sayang, dan bisikan paling tenang. Tiap matanya terpejam, tak sedikit pun sudut wajahnya luput kupandangi. Bila sudah terlelap, senyumku merekah. Sebab tak kulihat lagi campur campur ketakutan saat tidurnya nyenyak.

Harsa bukan namanya, namun dengan ikhlas kuhadiahi untuknya. Kuberikan nama itu sebagai penghormatan atas kehadirannya di hari jumat, sabtu ,dan minggu yang terus berulang. Tugas Harsa pun sudah selesai, dia banyak memberi kebahagiaan. Dia tahu betul aku senang melahap luka, menelannya sampai habis, membiarkannya hidup, lalu mencemari isi perutku. Harsa ingin aku belajar mencari kebahagiaan, tak perlu terus memakan luka.

Bertahun-tahun berlalu, aku masih senang melahap luka namun sudah pandai meracik obat; untuk membunuh, membalaskan dendam, dan menyembuhkan diriku sendiri.

Semua berkat Harsa.